Pulau Makeang. Foto : Net |
Kebetulan saya lahir di tempat ini,
Makian, Kecamatan Waikyon, Kabupaten Halmahera Selatan, Muluku Utara, tepatnya
di Desa Gitang. Dulu saya masih berumur sekitar 5-6 tahun, yang saya ketahui Taba
bukan Makian. Entah kapan namanya dirubah yang pasti kata Makian belum pernah
saya dengar waktu masih kanak-kanak, seingat saya Makeang penyebutan masyarakat
setempat untuk pulau ini, itupun saya sudah beranjak remaja. Belakangan saya
baru tahu bahwa Taba itu khususnya Makeang Dalam sedangkan Makeang Luar
itu Moi. Taba Lho itu berhadapan dengan pulau Botan dan Keten
sedangkan Taba Lik itu menghadap lautan bebas. Masyarakat
Makeang pada umumnya menyebut Taba Lho adalah Ngofakiyaha dan Taba
Lik itu Ngofagita. Jadi pada kesempatan ini saya dan mungkin kalian
juga sepakat bahwa, kita menggunakan penyebutan Makeang bukan Makian, boleh?
Masyarakat Taba Lho menyebut
Moti itu keten dan Halmahera itu Botan__Lho itu Dalam dan Lik itu
Luar. Ada 9 Desa di Makeang Dalam dan 7 Desa di Makeang Luar, dari sudut bahasa
dan dialek keduanya berbeda meskipun hanya beberapa kata dan dialek namun ada
beberapa desa yang tidak memliki kemiripan bahasa sedikit pun, meskipun masih
dalam satu etnis. Kalau di Makeang Dalam bahasanya sama kalaupun berbeda mungkin
hanya dialeknya saja, tapi kalau di Makeang Luar hampir semua bahasanya berbeda
dari satu Desa ke Desa yang lain.
Pulau ini juga dikenal dengan pulau kie
besi yang artinya gunung besi, gunung yang sudah terbela menjadi dua bagian ini
diakibatkan meletus pada tahun 1988; sehingga penduduk setempat mengungsi ke
pulau-pulau terdekat dan semua aktivitas diberhentikan bahkan secara
administrasi sekolah-sekolah yang ada di pulau Makeang di pindahkan ke Malifut,
Halmahera Utara dan pada akhirnya di sinilah konflik 1999-2000 yang dikenal
dengan kerusuhan yang mengakibatkan tidak sedikit nyawa yang hilang secara
paksa—dan bukan menjadi rahasia lagi bahwa latar belakang konflik yang terjadi
adalah kepentingan para elit lokal dan nasional. Namun mungkin dihalaman yang
berbeda saya akan menulis yang akan membahas hal ini—semoga saja ada kesempatan
agar kiranya dapat berbagi cerita.
Saya masih ingat sejak kanak-kanak,
pada sore hari kami selalu bermain di pantai. Pantai menjadi tempat berkumpul
dan bermain, diatas pasir kami bermain Benteng, Tek Nama, Sem, Boi[1] dll. Ketika usai
bermain permainan yang tadi, kami dipanggil lalu dikumpulkan oleh Papa dari
anak-anak yang bermain, walaupun tidak semua orang tua kami khusunya Papa,
hadir dan meyaksikan tapi kalaupun tahu kami sedang bermain mereka tidak marah, bahkan mereka
menyuruh untuk belajar supaya besar nanti kalau merantau di negeri orang bisa
jaga diri. Mungkin kira-kira bahasa seperti ini “belajar akno de kno-kno han
manusia li kampong li mai jaga meu diri[2]”, penekanan
bahasanya terkesan wajib bagi anak laki-laki.
Banyak permainan yang menghibur untuk
bermain bersama, dari sekian banyak permainan yang kami lakukan ada satu
kebiasaan yang sering kami lakukan yakni, Hatut. Dominasi permainan ini
dilakukan oleh laki-laki, ini bukan hal aneh atau baru bagi saya dan
teman-teman sebaya, bahkan orang-orang sebelum kami. Selain menghibur juga
mengajarkan kami bagaimana menjaga kekompakan yang dibangun dalam kelompok, hatut[3] dilakukan oleh dua
kelompok yang dibagi berdasarkan kemauan individu untuk bergabung dengan
kelompok mana yang akan dipilih.
Permainan ini tidak membatasi individu
untuk terlibat, jika merasa diri ingin bermain maka pilihlah salah satu
kelompok untuk mengabungkan diri. Setiap kelompok tidak harus memiliki anggota
melebihi kelompok lain, misalnya kelompok yang pertama anggotanya 10 orang maka
kelompok kedua juga harus demikian. Sebelum memulai hadake[4] memberikan aba-aba
atau semacam aturan dalam permainan, hadake terdiri 2-3 orang yang usianya
di atas dari kami, biasanya kaka-kaka kami dalam kampung tapi kadang-kadang
Papa salah satu dari teman kami yang menjadi hadake. Tidak ada kenal
sayang dalam permainan, biarpun saudara sungguh.
Jika aba-aba sudah selesai diberikan dan
anggota tiap-tiap kelompok sudah meyetujui maka masing-masing mengambil tempat
dan siap-siap untuk bermain. Saya yang sering terlibat dalam permainan ini
merasa bangga jika suara penonton serentak berteriak “maka jaga ahhiya[5]”. Buk-bak-buk-bak!! Seru
penonton oe-oe-oe, Suara Hadake
“idia lo-idia lo[6]”, tarik-menarik
antara dua kelompok semakin kencang dan menimbulkan keteganggan, jika hatut
sudah melenceng dari aturan yang disepakati maka shi hadake mengambil
inisiatif untuk mengamankan. Ini berlangsung tak menentu waktu, kalau kedua
kelompok sudah merasa lelah maka permainan siap untuk dibubarkan dengan
sendirinya.
Hampir kelewat, Hatut juga ada
dua macam, yang kedua juga tak kalaseru dengan yang di atas. Yang ini lebih
gila lagi, kami yang masih kategori anak-anak dan dewasa dipisahkan
masing-masing tempat, soal aturan tidak jauh beda dengan yang pertama tetapi
yang membedakan di sini ialah jumlah peserta dalam hatut, jika yang
pertama jumlahnya harus sama, yang ini beda lagi. Dewasa jumlahnya paling
banyak 4-5 orang saja tapi kategori anak-anak tidak menentu jumlah anggota
kelompoknya, 10-13 atau bahkan lebih. Hatut-nya juga berbeda, bedanya
di sini yang dewasa tidak dibolehkan tendang dan jetos, yang bisa hanya tampar
saja.
Mungkin bagi banyak orang pantai ialah
tempat berlibur tapi bagi kami pantai lebih dari itu, di pantai adalah ajang
untuk melatih mental dan kekompakan dalam pertemanan karena hatut tidak
berhenti sampai di sini saja, ada tahapan-tahapan yang lebih ekstrim lagi,
bahkan sampai-sampai kehilangan nyawa. Inilah kami, Taba!
Jadi kalau di kampung ada musim-musim
permainan, jika yang satu tak dimainkan lagi maka kami bermain dengan permainan
yang lain lagi. Ada segudang permainan di sana yang tak harus mengeluarkan banyak
uang jika mau mendapatkannya. Kami yang di kampung itu sangat kreativ dan
mandiri, biasa permainan yang kami buat sendiri misalnya, leleyangan,
kapal-kapal, katapel, dam gua, carumin, oto-oto[7] dll.
Bila musim hatut sudah tiba,
suasana kampung sangat ramai. Jadi hatut tak harus di pantai terus
karena pada malam harinya kami berkelahi antar kampung biasanya kampung saya
Gitang dengan kampung tetangga Kyowor. Jadi mulai dari anak-anak sampai yang
dewasa juga ikut hatut, dan ada yang sering keluar darah pada bagian
yang di pukul. Jadi rumah saya paling ujung kampung dan berbatasan dengan
kampung Kyowor jadi kalau musim hatut itu di depan rumah saya dan karena
rumah saya juga dekat dengan pantai jadi bahkan sering hatut di pantai
juga di depan rumah.
Saya ingat waktu masih anak-anak, waktu
itu saya baru saja selesai sunat dan lukanya belum sembuh betul. Siang dan
malam hanya pakai baju tapi ukurannya besar, punya Papa. Karena ramai dan hatut-nya
pun makin panas, saya tak mau ketinggalan jatah untuk bergabung dalam barisan
kampung saya, akhirnya kondisi terakhir burung saya berdarah karena ada yang
tendang, saking tegangnya saya tak tahu bahwa baju saya sudah berdarah, saya
tahu ketika diberitahu oleh teman saya sendiri. Akhirnya saya berhenti hatut
untuk membersihkan burung saya yang berdarah. Dan tidak ada dendam, mau
kamu sampai keluar darah sekalipun, karena selesai hatut, itu langsung
berkumpul bersama dan saling menertawakan satu sama lain.
Mungkin di daerah lain kalau bulan
Ramadhan dikenal sebagai bulan penuh dengan bermaafan, tapi bagi kami bulan
Ramdhan adalah bulan yang kami tunggu-tunggu untuk hatut, sebab bulan
ini kami kenal dengan bulan musim hatut. Kebiasaan ini turun-temurun, mulai
dari buyut sampai cucu sekarang masih terus dilakukan, kalaupun ada hal-hal
yang sudah mulai terkikis oleh jaman tetapi kebiasaan hatut hingga saat ini tetap dijalankan meskipun
kebiasaan hatut di pantai dan antar kampung sudah mulai jarang, bila tahapan
pertama dan kedua sudah tak dimainkan lagi, tapi ada tahapan ketiga yang
mungkin akan saya ceritakan lagi di sini.
Mari berlibur bersama! Saya dari SD
sampai SMP tidak diperbolehkan oleh Mama untuk pergi menonton hatut level
ketiganya, dengan alasan “nante mtala tut, yase latut ee lmaka yalik ii[8]” nasihat pendek
ini mengubur niat saya yang sebelumnya. Entah model hatut-nya seperti
apa? Sehingga saya dilarang untuk ikut menonton, padahal saya ingin sekali bisa
menonton walaupun dengan jarak yang jauh.
Ada pembagian wilayah dan di dalam
wilayah terdiri dari beberapa desa, yang nantinya individu-individu akan mewakili
desanya masing-masing untuk ikut dalam hatut tersebut. Yase[9] terdiri dari desa
Wallo, Gorup, Kota dan Rabuddaiyo dan pope[10] desa Dalam,
Gitang, Kyowor; yang sering ikut dalam hatut itu hanya tiga desa ini. Area
hatut tepatnya di depan mesjid besar Taba, desa Dalam, konon mesjid ini
peletakan batu pertamanya presiden pertama Indonesia yakni Ir. Sukarno pada
tahun 1954. Tidak menutup kemungkinan siapa saja bisa terlibat hatut, namun
pengalaman di lapangan hanya orang Taba saja yang terlibat sedangkan Moi
tak pernah ikut serta dalam permainan ini dikarenakan sangat jauh untuk sampai
di tempat hatut.
Ramadhan indul fitri bagi orang Islam
merupakan bulan yang suci dan penuh berkah, ada dua syarat yang dianggap sakral
ialah berpuasa dan sholat. Apalagi masyarakat Makenag pada umumnya dan seluruh
penduduk setempat memeluk agama Islam toh, di Makeang juga berdiri kerajaan
besar pada waktu itu dan penghasil cengke terbaik. Air minumnya pun sangat
bersih dan segar untuk menghilangkan dahaga, jadi sering kapal-kapal dagang
berlabu di sini untuk mengambil air karena masyarakat setempat dikenal sangat
terbuka bagi siapapun. Berpuasa pada Idul fitri selama 30 hari dan 30 hari pula
hatut berlangsung lamanya; dimulai dari puasa pertama sampai dengan
akhir puasa.
SMA kelas 1 adalah momen pertama kali
saya bisa meyaksikan hatut di depan mesjid secara langsung, dan terakhir
pula hatut dilakukan di depan mesjid bukan karena tidak boleh lagi tapi
karena kondisinya sangat gelap, sebab ada kejadian dan itu sudah berulang-ulang
kali terjadi, sholat tarawi masih belum selesai hatut sudah dilakukan
walaupun anak-anak kecil tapi sangat menganggu, sehingga lampu di depan mesjid dicabut.
Kini hatut dilakuakn di depan rumah warga yang jaraknya tak begitu jauh
dengan mesjid namun di sini mungkin sedikit terang; jadi hatut itu
dilakukan di jalan besar atau utama penyambung jalan dari desa ke desa lainnya.
Siapapun jika baru pertama kali pasti
akan senasib sama seperti saya, gemetar karena takut melihat bakuhantam tak
seperi di pantai dan antar kampung. Mungkin ini menjadi alasan Mama tak
mengijinkan saya menonton, sebab tak seperi yang saya bayangkan sebelumnya—hatut
biasa saja. Di sinilah hatut mulai dari anak-anak sampai Papa-papa.
Selesai sholat tarawi, orang-orang pada
akan menuju ke desa Dalam—bukan untuk pameran atau konser Band papan atas atau
bawah yang harus beli tiket melainkan sebuah warisan turun-temurun yang akan
digelar dan sangat menegangkan. Jika desa pope dan yase sudah
berada dilokasi, maka tak lama lagi hatut akan di mulai. sebelum berlaga
ada keterwakilan dari desa pope dan yase dan biasanya hanya satu
orang saja mewakili untuk saling adu mulut, dengan bahasa yang merendahkan dan
memancing lawan untuk maju ke depan. Jika sudah ada yang maju ke depan maka
urusan adu mulut akan berakhir pula—di buka dengan anak-anak yang berusia
diatas belasan tahun, di susul dengan orang dewasa dan Papa-papa.
Ditengah bakuhantamnya anak-anak, tak
lama kemudian yang dewasa secara spontan langsung membludak, jalan penuh dengan
manusia khususnya laki-laki, yang tadinya hanya duduk disamping jalan tiba-tiba
berdiri dan ambil posisi untuk menjaga kemungkinan bisa menyelamatkan diri dari
serang-menyerang yang terjadi, ada yang di depan saling menjaga satu sama lain
dalam kelompok dan serangan lawan namun ada juga bekingan dari belakang;
lapisan kedua dan ketiga. Anak-anak yang tadi hatut langsung jadi
penonton, menjadi penonton juga harus
was-was sebab tak kenal sayang kalau dua kelompok ini saling
kejar-mengejar karena dipukul mundur salah satu kelompok, penonton juga mencari
jalan untuk menyelamatkan diri karena bukan peserta hatut saja yang
menjadi incaran dan ini biasanya dilakukan oleh kelomok yase. Dan jarak hatut
dari dua kelompok hanya satu meter saja; konsentrasi ke depan sebab salah mata
tanggung resiko.
Pernah mendengar bunyi galong jika di
pukul dengan tangan—itu sama persis dengan hatut yang saya ceritakan di
atas. Bunyi yang membuat tubuh meriding, ada yang bengkak, tercukur, pecah dan
sering kali ada juga yang di infus karena tak sadarkan diri. Saya pernah
mendengar cerita dulu ada juga yang meninggal, setelah pulang dari tempat hatut
tak lama kemudian tidak sadarkan diri dan pada akhirnya menghembuskan nafas
terakhir, katanya dia di tanggap dan di pukul beramai-ramai oleh kelompok pope.
Pada kondisi tertentu papa-papa yang
dibelakang juga langsung turun tangan, yang awalnya hanya menyemagati
rekan-rekannya, sebab kehadiran mereka juga memberikan semangat tersendiri bagi
kelompoknya—inipun kalau diantara kedua kelompok sudah ada papa-papa yang ikut
menyerang maka kelompok yang satu papa-papa juga terlibat. Bila salah satu
kelompok ada yang ditangkap maka harus dipukul maju agar bisa menyelamatkan
rekannya, kalau pun bisa diselamatkan—ya paling tidak tergoreng, bengkak, patah
rusuk dan badan-badan semua terasa sakit akan dibawa pulang ke rumah nanti.
Dengan sendirinya papa-papa yang sering
hatut akan hadir jikalau mendengar ada yang di tangkap kemarin malam,
tidak perluh di panggil atau mengadu, dia cukup mendengar cerita orang saja
pasti meluangkan waktunya untuk hadir, ini terjadi secara spontan yang tak
butuh konsuldasi dari tiap-tiap kampung lagi tapi akan merasa terpanggil
sendiri. Malamnya papa-papa yang ada langsung ke lokasi hatut, kami yang
menyaksikan hal ini merasa semangat karena bakuhantam hebat akan berlangsung.
Tak menjadi rahasia dan hal baru bagi
masyarakat setempat, bahwa ada sebagian orang yang memiliki kepercayaan
sendiri—menggunakan ilmu tertentu pada saat hatut dengan alasan supaya
bisa kebal jika kena pukul, secara ilmiah hal ini tak mungkin akan terjadi tapi
pada kenyataanya hal ini mungkin bisa terjadi. Dan kepercayaan ini diturunkan
ke anak-anaknya hingga sampai saat ini ada juga yang menggunakan ilmu tersebut.
Pada tahun 2013 upaya Kapolres
kecamatan untuk menghentikan kebiasaan hatut karena di nilai membahayakan
keselamatan masyarakat yang terlibat, tak menuai hasil sebab hampir semua
masyarakat menolak dengan keras “ini adalah budaya kami turun-temurun yang
tak bisa di hilangkan begitu saja” terang mereka. Sampai hari ini kebiasaan
hatut masih terus di laksanakan pada bulan Ramadhan Idul Fitri. Sekian....
Penulis : Daun Kering
[1] Permainan Maluku Utara
[2] Belajar supaya suatu kelak merantau di negeri orang
bisa jaga diri [penekannya untuk belajar berkelahi]
[3] Hatut adalah
bahasa Makeang Dalam yang artinya berkelahi
[4] Hadake--------------------------------------------artinya
Wasit
[5] Saling menjaga satu sama lain dalam kelompok
[6] Boleh sudah-boleh sudah
[7]
Nama-nama permainan Makeang [Taba]
[8] Jangan
sampai kamu kena pukul karena di sana berkelahinya saling kejar-kejar
[9] Sebelah
di atas [bagian utara]
[10] Sebelah
bawah [bagian selatan]
0 Comments