Aku menjalani hidup ini dengan
berbagai tantangan dan cobaan yang silih berganti seakan – akan tak ada
bosannya meliputi aku. Berbagai cara, beragam masalah seakan menjadi
makanan sehari – hari ku, hidup yang jauh dari orang tua, seakaan
hidup dalam kegelapan. Dari sebuah desa dan menginjakkan kaki ke kota
besar, membuatku mabuk akan keindahan lampu-lampu
kota. Meskipun aku berada dalam keramaiaan terasa berada di kuburan
yang di mana tak ada cahaya kehidupan.
Mungkin tubuhku akan
mati, manakalah aku harus berperang dengan biaya hidup yang makin
hari makin membuatku tak mampu. Apakah hidup ini hanya sebatas permainan? Sama
seperti permainan catur salah melangkah hilang posisi. Apakah cinta dan
kasih sayang tak ada artinya dimana aku menjalani hidup sendirian dengan
beban hidup yang harus aku tangani sendirian, aku hanyalah salah satu
orang yang ingin mengubah nasib melalui pendidikan, aku sudah tak
mampu dengan apa yang aku jalani. Ketika ku mulai memiliki sahabat, aku
tak pernah mau membebani masalah ini, membagi derita ini, aku sadar
mereka pun memiliki kekurangan dan memiliki masalah sendiri.
Akupun mencoba tegar di tengah kesedihan
di tengan kehancuran, meskipun jiwa dan raga ini terluka aku hanya mencoba
tersenyum, meskipun beban ini tak mampu aku tahan, tak
mampu aku simpan sendirian. Sahabat – sahabatku selalu membuatku
tersenyum, membuatku nyaman ketika aku berada di samping
mereka, tak bisa aku pungkiri batin ini tersiksa tapi aku
coba menyembunyikan semua ini dari mereka, sehingga mereka tak merasa
terbebani dengan masalah aku. Tuhan ketika kau memberiku kehidupan di
dunia ini dengan latar belakang yang begitu dramastis, aku menerima jalan
hidup ini dimana orangtua aku harus berpisah. Dan di
mana aku hidup sendirian ditengah gemerlapnya ibu kota Ternate.
Keseharian aku tinggal di kamar
yang tak layak di sebut kehidupan, kamar yang berukuran sempit dan
biaya sewapun begitu sakit di katakan. Disetiap tanggal pembayaran sewa
kamar pun harus mencari jalan keluar agar bisa membayarnya, makan sehari –
hari pun sekali dalam sehari tak makan pun hanya diam, sebagai perempuan aku
tak munafik dengan berdandan wajah dan orang yang mengagumi aku, itu
yang menjadi salah satu kelebihan agar aku bisa menutupi ekonomi sehari –
hariku, terkadang kesempatan dan peluang yang bisa aku manfaatkan,
aku sadar, jalan yang aku tempuh dan jalani tak baik, tapi
apa daya mau dikata, hanya ini yang bisa aku perbuat. Sampai
kapan aku begini? sampai kapan aku menjalani peran ini?
Hidup yang keras, hidup yang
sulit aku jalani tak seorang pun yang tau betapa sakit dan keras masalah
kehidupan yang aku alami, cinta seakan tak ada artinya untukku. Ketakutan
yang selalu menghantui disetiap langkah dan tindakan yang aku
jalani, begitu perih dan pahitnya kehidupan ini, menjadi duri
dalam daging, menjadi penyakit dalam tubuh.
Cara apa yang harus aku
perbuat? jalan apa yang harus aku tempuh? di setiap kekurangan
pun aku hanya mampu meneteskan air mata dan aku tak mampu
berkata-kata, diri inipun aku benci, wajahku pun seakan
memakai topeng kebohongan, kesedihan yang tergambarkan dalam wajahku
mampu aku mengalihkan dengan kegembiraan. Terkadang hati, jiwa dan ragaku
tak menyatu. Yang ada dalam pikiran pun aku tak tau, jalan yang baik menjadi
buruk dan yang buruk seakan baik. Kehidupan di mana orang lain
bahagia, dimana orang lain bisa merasakan keindahan di rumah maupun di
luar tetapi kehidupan yang aku jalani seakan barkata lain. Tak
adilkah hidup ini? aku tak bisa menyalahkan orang lain, Tuhan yang
memberiku kehidupan, orang-orang di sekitarku pun tak bisa ku salahkan.
Terkadang dalam benakku bertanya
apakah ini kehidupan? semua beban aku jalani
sendirian, susah dan senang aku jalani, sampai kapan
kehidupan yang begitu mencekam ini selalu aku jalani? jujur dari
lubuk hatiku, melihat anak – anak yang selalu diperhatikan orang tua
mereka jauh maupun dekat, dimana orang tua mengingat
anaknya, memberikan jatah bulanan agar anak –anak mereka tak
kelaparan, di mana ketika tak melihat anaknya pulang pun
di tanya, tapi sebagai seorng anak aku tak pernah merasakan itu
semua, tak ada perhatian dari orang tua, tak ada kekhawatiran di
saat aku jauh, disaat aku tak pulang, seakan aku
memvonis diriku sebagai wanita jalanan pulang
pergi, sakit, senang, susah dan makan tak makan tak
ada yang perduli tak ada yang menanyakan kabarku. Apakah ini yang disebut
kehidupan?
Pernah aku melakukan satu
kesalahan dimana aku mencoba mengakhiri hidupku dengan menggoreskan urat
nadi dengan sebuah silet tajam, darahpun mengalir begitu banyak, aku
mencoba minum racun, mencoba merusak diriku dengan alkohol, rokok, tapi
apa yang aku dapatkan tuhan masih ingin aku merasakan kehidupan
meskipun aku tak menginginkan -nya, aku tak perduli dengan apa
yang dibicarakan orang terhadap aku, aku yang mengetahui apa
yang aku lakukan, apa yang aku perbuat, apa yang ku
jalani, orang – orang hanya sebagai penonton dan akulah pemeran utama
dalam panggung sandiwara kehidupan yang fana ini.
Aku menginginkan hidupku hanyalah
sebuah mimpi buruk dan kelak aku terbangun nanti semua akan berakhir
bahagia. Dalam hidup, aku tak menginginkan kemewahan, yang aku
butuhkan kebahagiaan, ketenangan, kebersamaan dan dimana
orangtuaku bersama-sama dengan aku. Uang bisa di cari, kemewahan
dunia hanyalah bersifat sementara, hidup dalam kemewahan tapi tak bahagia
bagaikan makan tanpa minum. Aku bagaikan orang yang terlupakan, anak
yang ketika dilahirkan di terlantarkan, apakah orang tua aku tak
menginginkan aku ada? kenapa tuhan memberikan aku
hidup? sementara aku tak ingin hidup seperti ini, sendirian dalam
menghadapi cobaan yang begitu berat, cobaan yang hampir membuat aku
gila.
Apakah orang tuaku layak aku sebut
dan ku panggil dengan sebutan ayah dan ibu? dimana mereka tak pernah
menghargai, dimana mereka tak pernah menganggap aku ada. Aku
sakit, aku sedih mereka pun tak mau tau, mereka hanya mementingkan
hidup mereka dimana mereka tak sadar ada aku di dunia ini, yang dimana aku
masih menginginkan kasih sayang dan perhatian mereka.
Dan masih teringat di
benakku, pikiranku dan tak akan aku lupakan ,dimana aku
dilahirkan dan dibesarkan oleh orang lain, bukan ayah atau ibuku sendiri
dan suatu hari dimana aku mendengar kenyataan bahwa aku bukan anak
dari orang yang membesarkanku seakan tak percaya, seakan tubuhku jatuh
dari gedung tinggi dan hancur berkeping –keping, tapi aku coba
menerima karena merasakan kasih sayang, tapi nasib dan kejamnya hidup pun aku
rasakan, dimana orang tua angkat yang membesarkan aku pun
bercerai, sama seperti orangtua kandungku yang bercerai karena ada orang
ketiga.
Sakit....
Luka...
Yang tak mampu aku gambarkan.
Dari situlah ketika aku mulai
takut mengenal cinta. Aku tak mampu mencoba bagaimana disaat aku
bahagia, aku juga akan terluka, sudah begitu banyak cobaan hidup
yang aku alami dan jalani, aku takut menambah bebanku
ini. Biarlah aku hidup dalam kesedihan, biarlah aku hidup
dalam kesendirian, aku tak mampu mencintai, meskipun banyak yang
mencintaiku. Dalam lubuk hati, aku takut memulai yang namanya hubungan
serius, meskipun ada orang yang mencintaiku
begitupun sebaliknya namun aku takut berkata, aku
takut menunjukkan rasa ini terhadap orang yang aku cintai karena ketika aku
mulai mencintai, aku pasti tau setiap pertemuan pasti ada perpisahan
dan itu yang selalu ada dipikiranku, dengan apa yang aku alami dari
pengalaman orang tuaku sendiri.
Aku bisa dibilang orang
bodoh, orang yang takut akan kegagalan, dan bisa juga dibilang
mengalah sebelum mencoba. Biarkanlah orang beranggapan begitu
terhadapku, biarkanlah orang melihatku aneh tapi satu yang ku
takut yaitu kata “perpisahan” yang dialami orang tuaku
sehingga aku takut mengalami dan merasakan hal yang sama.
Memang di dunia ini manusia diciptakan
berpasang – pasangan tapi kenapa ada kata perpisahan, peceraian dalam
kehidupan ini?
Semua
yang aku alami, aku tak mau terjadi ketika aku akan mengalami
perkawinan kelak, aku tak mau apa yang kurasakan akan menimpah anak – anakku
kelak hanya itu yang aku harapkan ketika aku akan menemukan orang yang
akan menjadikan aku seorang istri, ibu dari anak – anakku
kelak, semoga apa yang aku harapkan bisa aku dapatkan, hanya
inilah satu – satunya harapan dan kebahagiaan yang aku
inginkan, yang aku harapkan kebahagiaan terakhir sebelum ajal
menjemputku.
Aku tak ingin apa yang aku
rasakan dirasakan pada orang – orang yang aku sayang nanti, sekarang
aku hanya menginginkan cita – cita yaitu kuliah sampai selesai dan memiliki
keluarga yang bahagia. Inilah cita – citaku yang ingin aku gapai, yang
masih aku perjaungkan. Kelak ada laki – laki yang mampu menerima aku
apa adanya bukan ada apanya, kelak ada laki –laki baik yang mampu menerima
kekurangan dan kelebihan aku, mampu menjadi imam dalam setiap apa
yang aku jalani, mengajarkan aku tentang kebaikan tentang
bagaimana menjalani hidup apa adanya.
Laki – laki yang mampu
berbagi, mampu menyelesaikan setiap masalah, dan tak ada kata “perpisahan
atau perceraian” laki – laki yang mampu menyelesaikan masalah dengan
bijak, mampu menghargai perempuan, kapan dan dimana aku
menemukan pasangan hidup hanya tuhan yang tau. Tak perlu kaya, tak perlu
tampan, tapi laki – laki yang mampu dan bertanggung jawab terhadap istri
dan anaknya.
Tuhan harapan terakhirku memiliki kebahagiaan,bukan perpisahan!
Inilah sepenggal pengalaman dan cita –
cita aku kelak semoga apa yang aku harapkan
dan aku inginkan bisa terkabulkan, agar aku bisa
merasakan kebahagiaan yang abadi, jawaban atas apa yang aku alami
dalam kehidupan sehari – hari yang begitu kejam.
0 Comments