Advertisement

Main Ad

Begitu Kerasnya Hidup di Kota Besar


Sri Rahayu Mokodompit. Foto : Dok. Pribadi

Aku menjalani hidup ini dengan berbagai tantangan dan cobaan yang silih berganti seakan – akan tak ada bosannya meliputi aku. Berbagai cara, beragam masalah seakan menjadi makanan sehari – hari ku, hidup yang jauh dari orang tua, seakaan hidup dalam kegelapan. Dari sebuah desa dan menginjakkan kaki ke kota besar, membuatku mabuk akan keindahan lampu-lampu kota. Meskipun aku berada dalam keramaiaan terasa berada di kuburan yang di mana tak ada cahaya kehidupan.

Mungkin tubuhku akan mati, manakalah aku harus berperang dengan biaya hidup yang makin hari makin membuatku tak mampu. Apakah hidup ini hanya sebatas permainan? Sama seperti permainan catur salah melangkah hilang posisi. Apakah cinta dan kasih sayang tak ada artinya dimana aku menjalani hidup sendirian dengan beban hidup yang harus aku tangani sendirian, aku hanyalah salah satu orang yang ingin mengubah nasib melalui pendidikan,  aku sudah tak mampu dengan apa yang aku jalani. Ketika ku mulai memiliki sahabat, aku tak pernah mau membebani masalah ini, membagi derita ini, aku sadar mereka pun memiliki kekurangan dan memiliki masalah sendiri.

Akupun mencoba tegar di tengah kesedihan di tengan kehancuran, meskipun jiwa dan raga ini terluka aku hanya mencoba tersenyum, meskipun beban ini tak mampu aku tahan, tak mampu aku simpan sendirian. Sahabat – sahabatku selalu membuatku tersenyum, membuatku nyaman ketika aku berada di samping mereka, tak bisa aku pungkiri batin ini tersiksa tapi aku coba menyembunyikan semua ini dari mereka, sehingga mereka tak merasa terbebani dengan masalah aku. Tuhan ketika kau memberiku kehidupan di dunia ini dengan latar belakang yang begitu dramastis, aku menerima jalan hidup ini dimana orangtua aku harus berpisah. Dan di mana aku hidup sendirian ditengah gemerlapnya ibu kota Ternate.

Keseharian aku tinggal di kamar yang tak layak di sebut kehidupan, kamar yang berukuran sempit dan biaya sewapun begitu sakit di katakan. Disetiap tanggal pembayaran sewa kamar pun harus mencari jalan keluar agar bisa membayarnya, makan sehari – hari pun sekali dalam sehari tak makan pun hanya diam, sebagai perempuan aku tak munafik dengan berdandan wajah dan orang yang mengagumi aku, itu yang menjadi salah satu kelebihan agar aku bisa menutupi ekonomi sehari – hariku, terkadang kesempatan dan peluang yang bisa aku manfaatkan, aku sadar, jalan yang aku tempuh dan  jalani tak baik, tapi apa daya mau dikata, hanya ini yang bisa aku perbuat. Sampai kapan aku begini? sampai kapan aku menjalani peran ini?

Hidup yang keras, hidup yang sulit aku jalani tak seorang pun yang tau betapa sakit dan keras masalah kehidupan yang aku alami, cinta seakan tak ada artinya untukku. Ketakutan yang selalu menghantui disetiap langkah dan tindakan yang aku jalani, begitu perih dan pahitnya kehidupan ini,  menjadi duri dalam daging, menjadi penyakit dalam tubuh.

Cara apa yang harus aku perbuat? jalan apa yang harus aku tempuh? di setiap kekurangan pun aku hanya mampu meneteskan air mata dan aku tak mampu berkata-kata, diri inipun aku benci, wajahku pun seakan memakai topeng kebohongan, kesedihan yang tergambarkan dalam wajahku mampu aku mengalihkan dengan kegembiraan. Terkadang hati, jiwa dan ragaku tak menyatu. Yang ada dalam pikiran pun aku tak tau, jalan yang baik menjadi buruk dan yang buruk seakan baik. Kehidupan di mana orang lain bahagia, dimana orang lain bisa merasakan keindahan di rumah maupun di luar tetapi kehidupan yang aku jalani seakan barkata lain. Tak adilkah hidup ini? aku tak bisa menyalahkan orang lain, Tuhan yang memberiku kehidupan, orang-orang di sekitarku pun tak bisa ku salahkan.

Terkadang dalam benakku bertanya apakah ini kehidupan? semua beban aku jalani sendirian, susah dan senang aku jalani, sampai kapan kehidupan yang begitu mencekam ini selalu aku jalani? jujur dari lubuk hatiku, melihat anak – anak yang selalu diperhatikan orang tua mereka jauh maupun dekat, dimana orang tua mengingat anaknya, memberikan jatah bulanan agar anak –anak mereka tak kelaparan, di mana ketika tak melihat anaknya pulang pun di tanya, tapi sebagai seorng anak aku tak pernah merasakan itu semua, tak ada perhatian dari orang tua, tak ada kekhawatiran di saat aku jauh, disaat aku tak pulang, seakan aku memvonis diriku sebagai wanita jalanan pulang pergi, sakit, senang, susah dan makan tak makan tak ada yang perduli tak ada yang menanyakan kabarku. Apakah ini yang disebut kehidupan?

Pernah aku melakukan satu kesalahan dimana aku mencoba mengakhiri hidupku dengan menggoreskan urat nadi dengan sebuah silet tajam, darahpun mengalir begitu banyak, aku mencoba minum racun, mencoba merusak diriku dengan alkohol, rokok, tapi apa yang aku dapatkan tuhan masih ingin aku merasakan kehidupan meskipun aku tak menginginkan -nya, aku tak perduli dengan apa yang dibicarakan orang terhadap aku, aku yang mengetahui apa yang aku lakukan, apa yang aku perbuat, apa yang ku jalani, orang – orang hanya sebagai penonton dan akulah pemeran utama dalam panggung sandiwara kehidupan yang fana ini.

Aku menginginkan hidupku hanyalah sebuah mimpi buruk dan kelak aku terbangun nanti semua akan berakhir bahagia. Dalam hidup, aku tak menginginkan kemewahan, yang aku butuhkan kebahagiaan, ketenangan, kebersamaan dan dimana orangtuaku bersama-sama dengan aku. Uang bisa di cari, kemewahan dunia hanyalah bersifat sementara, hidup dalam kemewahan tapi tak bahagia bagaikan makan tanpa minum. Aku bagaikan orang yang terlupakan, anak yang ketika dilahirkan di terlantarkan, apakah orang tua aku tak menginginkan aku ada? kenapa tuhan memberikan aku hidup? sementara aku tak ingin hidup seperti ini, sendirian dalam menghadapi cobaan yang begitu berat, cobaan yang hampir membuat aku gila.

Apakah orang tuaku layak aku sebut dan ku panggil dengan sebutan ayah dan ibu? dimana mereka tak pernah menghargai, dimana mereka tak pernah menganggap aku ada. Aku sakit, aku sedih mereka pun tak mau tau, mereka hanya mementingkan hidup mereka dimana mereka tak sadar ada aku di dunia ini, yang dimana aku masih menginginkan kasih sayang dan perhatian mereka.

Dan masih teringat di benakku, pikiranku dan tak akan aku lupakan ,dimana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh orang lain, bukan ayah atau ibuku sendiri dan suatu hari dimana aku mendengar kenyataan bahwa aku bukan anak dari orang yang membesarkanku seakan tak percaya, seakan tubuhku jatuh dari gedung tinggi dan hancur berkeping –keping, tapi aku coba menerima karena merasakan kasih sayang, tapi nasib dan kejamnya hidup pun aku rasakan, dimana orang tua angkat yang membesarkan aku  pun bercerai, sama seperti orangtua kandungku yang bercerai karena ada orang ketiga.

Sakit....

Luka...

Yang tak mampu aku gambarkan.

Dari situlah ketika aku mulai takut mengenal cinta.  Aku tak mampu mencoba bagaimana disaat aku bahagia, aku juga akan terluka, sudah begitu banyak cobaan hidup yang aku alami dan jalani, aku takut menambah bebanku ini. Biarlah aku hidup dalam kesedihan, biarlah aku hidup dalam kesendirian, aku tak mampu mencintai, meskipun banyak yang mencintaiku. Dalam lubuk hati, aku takut memulai yang namanya hubungan serius, meskipun ada orang yang mencintaiku begitupun  sebaliknya namun aku takut berkata, aku takut menunjukkan rasa ini terhadap orang yang aku cintai karena ketika aku mulai mencintai, aku pasti tau setiap pertemuan pasti ada perpisahan dan itu yang selalu ada dipikiranku, dengan apa yang aku alami dari pengalaman orang tuaku sendiri.

Aku bisa dibilang orang bodoh, orang yang takut akan kegagalan, dan bisa juga dibilang mengalah sebelum mencoba. Biarkanlah orang beranggapan begitu terhadapku, biarkanlah orang melihatku aneh tapi satu yang ku takut yaitu kata “perpisahan” yang dialami orang tuaku sehingga aku takut  mengalami dan merasakan hal yang sama.

Memang di dunia ini manusia diciptakan berpasang – pasangan tapi kenapa ada kata perpisahan, peceraian dalam kehidupan ini?

Semua yang aku alami, aku tak mau terjadi ketika aku akan mengalami perkawinan kelak, aku tak mau apa yang kurasakan akan menimpah anak – anakku kelak hanya itu yang aku harapkan ketika aku akan menemukan orang yang akan menjadikan aku seorang istri, ibu dari anak – anakku kelak, semoga apa yang aku harapkan bisa aku dapatkan, hanya inilah satu – satunya harapan dan kebahagiaan yang aku inginkan, yang aku harapkan kebahagiaan terakhir sebelum ajal menjemputku.

Aku tak ingin apa yang aku rasakan dirasakan pada orang – orang yang aku sayang nanti, sekarang aku hanya menginginkan cita – cita yaitu kuliah sampai selesai dan memiliki keluarga yang bahagia. Inilah cita – citaku yang ingin aku gapai, yang masih aku perjaungkan. Kelak ada laki – laki yang mampu menerima aku apa adanya bukan ada apanya, kelak ada laki –laki baik yang mampu menerima kekurangan dan kelebihan aku, mampu menjadi imam dalam setiap apa yang aku jalani, mengajarkan aku tentang kebaikan tentang bagaimana menjalani hidup apa adanya.

Laki – laki yang mampu berbagi, mampu menyelesaikan setiap masalah, dan tak ada kata “perpisahan atau perceraian” laki – laki yang mampu menyelesaikan masalah dengan bijak, mampu menghargai perempuan, kapan dan dimana aku menemukan pasangan hidup hanya tuhan yang tau. Tak perlu kaya, tak perlu tampan, tapi laki – laki yang mampu dan bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya.

Tuhan harapan terakhirku memiliki kebahagiaan,bukan perpisahan!

Inilah sepenggal pengalaman dan cita – cita aku kelak semoga apa yang aku harapkan dan aku inginkan bisa terkabulkan, agar aku bisa merasakan kebahagiaan yang abadi, jawaban atas apa yang aku alami dalam kehidupan sehari – hari yang begitu kejam.


___________
Penulis   : Sri Rahayu Mokodompit
Editor    : Red

Keterangan : Tulisan ini saya ambil dilabtop berupa microsoft dan tanpa sepengetahuan yang bersangkutan, sekitar empat [4] tahun yang lalu. Namun jangan hanya menjadi barang antik dalam dokumen pribadi saya maka perluh kiranya dipublikasikan kalaupun tidak bermanfaat tetapi mungkin  sedikit dihargai karya ini. Sudah izin dan alhamdulillah yang bersangkutan tidak berkeberatan untuk dipublikasi. Setelah melalui editan dari Ichwan Taba tanpa menghilangakan maksud dan tujuan yang penulis paparkan maka tulisan ini layak dibaca oleh siapa saja. Terimakasih..

Post a Comment

0 Comments